Berita Hawzah – Bertepatan dengan hari kelahiran Sayyidah Fatimah az‑Zahra (sa), disajikan kepada para cendekiawan sekumpulan pernyataan Pemimpin Tertinggi mengenai kepribadian sang “Wanita Agung Dua Alam”.
Berbicara tentang Sayyidah Zahra (sa) – dan ini bukan sekadar ungkapan formal yang biasa diucapkan orang – sesungguhnya kita benar‑benar lemah. Kita terlalu kecil untuk mampu berbicara tentang kedudukan agung beliau. Mengenai hakikat nurani beliau dan para Imam Maksum lainnya, bahasa kita, ungkapan kita, dan pemahaman kita terlalu pendek untuk menjangkau pembahasan seperti ini.
«خَلَقَکُمُ اللهُ اَنواراً فَجَعَلَکُم بِعَرشِهِ مُحدِقین»
“Allah menciptakan kalian sebagai cahaya, lalu menempatkan kalian mengelilingi ‘Arsy‑Nya.”
Inilah hakikat cahaya para Imam Maksum (as). Lalu apa lagi yang bisa kita katakan?
Namun dalam hal sirah, perilaku, dan keteladanan mereka sebagai manusia, banyak sekali pelajaran yang dapat dibicarakan. Banyak ulama telah membahasnya, dan sebagian dari kalian juga menyinggungnya dalam syair-syair hari ini. Ruang pembahasan sangat luas. Dalam hal ini, saya sampaikan beberapa poin.
Hal yang dapat menjadi teladan bagi kita
Kita harus memandang Sayyidah Zahra (sa) dari sudut pandang kedua ini yaitu: keteladanan dan ketokohan.
Allah SWT dalam Al‑Qur’an menyebut dua perempuan sebagai teladan bagi orang beriman, dan dua perempuan sebagai contoh bagi orang kafir:
«ضَرَبَ اللهُ مَثَلًا لِلَّذینَ ءامَنُوا امرَاَتَ فِرعَون»“Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang beriman: istri Fir’aun…”
dan setelah satu ayat:
«وَ مَریَمَ ابنَتَ عِمرٰان» “…dan Maryam putri Imran.”
Dengan sudut pandang ini, kita dapat melihat para tokoh suci sebagai teladan dan mengambil pelajaran dari mereka. Fatimah az‑Zahra (sa) adalah Shiddiqah al‑Kubra, yang terbesar di antara para shiddiqin dan shiddiqat.
Kini kita ingin mengambil pelajaran dari beliau; perempuan belajar, laki-laki belajar; semua, baik alim maupun awam, belajar.
Keistimewaan-keistimewaan Sayyidah Zahra (sa)
Mari kita lihat apa yang disebutkan para Imam Maksum tentang beliau dalam pujian-pujian mereka. Dalam ziarah Imam Ridha (as), ketika sampai pada bagian shalawat untuk Sayyidah Zahra, disebutkan:
اَللّهُمَّ صَلِ عَلی فاطِمَةَ بِنتِ نَبیِّک
“Ya Allah, limpahkanlah salawat kepada Fatimah putri Nabi-Mu.”
Ini adalah satu keistimewaan.
Keistimewaan ini sangat besar; tentu tidak dapat ditiru, tidak semua orang bisa menjadi putri Nabi. Namun status sebagai putri Rasul menunjukkan ketinggian derajat beliau.
وَ زَوجَةِ وَلِیِّک
“dan istri wali-Mu.”
Ini juga tidak dapat ditiru oleh semua orang, tetapi menunjukkan kemuliaan dan keagungan beliau.
وَ اُمَّ السِّبطَینِ الحَسَنِ وَ الحُسَینِ سَیِّدَی شَبابِ اَهلِ الجَنَّة“
dan ibu dari dua cucu Nabi, Hasan dan Husain, pemimpin para pemuda surga.”
Keistimewaan ini memiliki sisi praktis yang lebih kuat: pendidikan dua pemimpin pemuda surga.
Dua cucu yang merupakan ‘pemimpin para pemuda surga’ itu, ibunya adalah sosok mulia ini; dari pangkuan suci seorang ibu seperti inilah mereka dapat tumbuh dan terbentuk. Inilah hal yang dapat menjadi teladan dan contoh bagi kita semua.
«اَلطُّهرَةِ الطّاهِرَةِ المُطَهَّرَةِ التَّقیَّةِ النَّقیَّةِ الرَّضیَّةِ الزَّکیَّة»
“yang suci, yang menyucikan, yang disucikan; yang bertakwa, yang bening jiwanya, yang diridhai, yang murni.”
Semua ini bersifat praktis. Tiga istilah “tuhr”, “tahir”, dan “mutahhar” memiliki perbedaan makna, tetapi semuanya menunjuk pada kesucian: kesucian jiwa, hati, pikiran, keluarga, dan seluruh kehidupan.
Ini adalah pelajaran bagi kita: kita harus berusaha menyucikan diri. Tanpa kesucian batin, seseorang tidak dapat mencapai derajat tinggi, bahkan tidak dapat mendekati wilayah para wali Allah.
Kesucian batin diperoleh melalui takwa, wara’, dan mulahadhah (pengawasan diri); pengawasan diri yang terus‑menerus dan penjagaan diri yang berkelanjutan akan melahirkan kesucian.. Manusia memang tempat salah, tetapi Allah SWT telah menunjukkan jalan untuk menghapus noda itu: tobat dan istigfar.
Istigfar berarti memohon ampun: “Astaghfirullah” – “Ya Allah, aku memohon ampun.”
Jika seseorang benar-benar, dari lubuk hati, memohon maaf kepada Allah SWT, istigfar itu akan menghapus noda dan kegelapan.
Sifat-sifat seperti kesucian, ketakwaan, dan kemurnian batin inilah keistimewaan Sayyidah Zahra (sa). Kita harus menjadikannya sebagai teladan dan berusaha mendekat kepada sifat-sifat itu.
Pernyataan ini disampaikan dalam pertemuan dengan para pembaca syair Ahlulbait (as), pada 30 Maret 2016.
Your Comment