Friday 24 October 2025 - 14:45
Pemikiran Politik dan Inovasi Ilmiah Allamah Naeini: Pandangan Pemimpin Revolusi

Hawzah/ Pernyataan Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam dalam pertemuan dengan para penyelenggara Seminar Internasional Allamah Mirza Muhammad Husain Naeini (rahimahullah) pagi ini di tempat pelaksanaan seminar di kota Qom telah dipublikasikan.

Menurut laporan Berita Hawzah, Ayatullah al-Uzhma Khamenei dalam pertemuan tersebut menyebut Allamah Naeini sebagai salah satu pilar agung keilmuan dan spiritual dari hawzah kuno Najaf. Dalam menjelaskan dimensi kepribadian beliau, beliau berkata: “Dari sisi keilmuan, ciri menonjol almarhum Naeini adalah kemampuannya membangun struktur dalam ilmu ushul berdasarkan tatanan pemikiran yang sistematis, ilmiah, dan penuh inovasi.”

Pemimpin Revolusi juga menyebut pengasuhan murid-murid besar sebagai salah satu keutamaan Allamah Naeini dan menambahkan: “Satu ciri istimewa lain yang menjadikan beliau sosok yang luar biasa di antara para marja adalah pemikiran politiknya, yang tercermin dalam karya berharga namun jarang dibahas, yaitu kitab Tanbih al-Ummah.”

Ayatullah Khamenei menilai bahwa keyakinan terhadap pembentukan pemerintahan Islam yang berasaskan wilayah (kepemimpinan) dan penolakan terhadap tirani merupakan pilar utama dalam pemikiran politik Allamah Naeini. Beliau menambahkan: “Menurut pemikiran politik almarhum Naeini, pemerintahan dan semua pejabatnya harus berada di bawah pengawasan rakyat dan memiliki tanggung jawab publik. Hal ini meniscayakan pembentukan Majelis Perwakilan melalui pemilihan umum yang berfungsi untuk melakukan pengawasan dan legislasi. Namun, validitas undang-undang yang dihasilkan oleh majelis ini bergantung pada persetujuan para fuqaha dan ulama terkemuka.”

Beliau menyebut kerangka pemerintahan yang digagas oleh Allamah Naeini, yaitu pemerintahan yang Islami dan rakyat, dalam istilah masa kini sebagai Republik Islam. Mengenai alasan pengumpulan kitab Tanbih al-Ummah oleh Mirza Naeini sendiri, beliau menjelaskan: “Gerakan konstitusional yang didukung oleh Mirza Naeini dan para ulama Najaf pada hakikatnya adalah dukungan terhadap pembentukan pemerintahan yang adil dan penghapusan tirani. Namun hal itu berbeda dengan apa yang kemudian diwujudkan oleh Inggris di Iran atas nama konstitusionalisme, yang akhirnya menimbulkan perpecahan dan peristiwa tragis seperti penyaliban Sayyid Syaikh Fadlullah Nuri.”

Dalam pertemuan tersebut, Ayatullah A‘rafi, Direktur Hawzah Ilmiyah, memberikan laporan tentang kegiatan dan program yang diadakan dalam rangka seminar internasional penghormatan terhadap Allamah Naeini.

Berikut teks lengkap pernyataan Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam:

بسم الله الرّحمن الرّحیم
الحمد لله ربّ العالمین و الصّلاة و السّلام علی سیّدنا محمّد و آله الطّاهرین سیّما بقیّة الله فی الارضین.

Salah satu pekerjaan yang sangat baik dari Hawzah Ilmiah Qom adalah penyelenggaraan peringatan ini, yang sebenarnya telah lama dibutuhkan. Almarhum Ayatullah Naeini pada masanya pernah memenuhi seluruh ruang keilmuan Najaf dengan gagasan dan pemikirannya, namun setelah itu beliau hampir terlupakan dalam dunia ilmiah. Di Qom, memang kami pernah menyaksikan bagaimana para ulama besar menghormati beliau, begitu pula para muridnya yang menjadi marja di Najaf. Namun, terhadap pribadi beliau sendiri, dengan segala keistimewaannya, perhatian itu sangat sedikit. Kini kalian menaruh perhatian terhadapnya, insya Allah dimensi ilmiah, amaliah, dan politik beliau akan semakin terang.

Tanpa ragu, almarhum Ayatullah Naeini adalah salah satu tiang agung hawzah kuno Najaf. Hawzah Najaf yang telah berusia lebih dari seribu tahun itu mengalami pasang surut. Pada masa-masa tertentu, ia memiliki para ulama besar, sementara pada masa lain jumlah ulama besar sedikit. Namun sekitar dua abad terakhir. sejak masa murid-murid Allamah Wahid Bihbahani seperti Bahrul Ulum dan Kashif al-Ghitha yang menetap di Najaf, hawzah Najaf mengalami kebangkitan keilmuan yang besar. Dari sanalah muncul tokoh-tokoh yang tiada banding dalam sejarah fikih dan ushul, seperti Syaikh Anshari, Shahib Jawahir, dan Akhund Khurasani. Almarhum Naeini termasuk di antara pribadi-pribadi unggul dari deretan besar ini.

Keistimewaan penting beliau dalam bidang keilmuan, terutama dalam fikih dan khususnya ushul, adalah kemampuannya “membangun sistem”. Beliau menata dasar-dasar ilmu ushul dengan pola baru, pemikiran segar, dan urutan yang tertata rapi. Dalam setiap pembahasan, beliau selalu memulai dengan mukadimah, menyusunnya secara teratur, lalu menyimpulkan dengan tuntas. Ini jarang ditemukan pada para ulama sebelumnya. Mungkin inilah sebab mengapa pelajar dan ulama begitu berbondong-bondong menghadiri majelis beliau — yang setelah masa Akhund menjadi pelajaran tingkat tertinggi di Najaf. Selain karena ketertiban ilmiah dan kejernihan penjelasannya, gaya bahasanya pun memikat.

Menariknya, beliau mengajar ushul di Najaf dengan bahasa Persia, di tengah suasana yang seluruh pelajarannya biasanya berbahasa Arab, namun tetap saja banyak pelajar Arab hadir di kelasnya. Diceritakan bahwa Syaikh Husain Hilli (seorang Arab asli), mengajar ushul dalam bahasa Persia karena mendengarnya demikian dari gurunya, yaitu Mirza Naeini! Ini menunjukkan kejelasan logika dan keindahan penyampaian beliau.

Inovasi-inovasi beliau dalam bidang ushul sungguh luar biasa banyaknya. Dalam berbagai persoalan ushul, beliau melahirkan gagasan-gagasan baru baik dalam menjelaskan pandangan Syaikh Anshari maupun dalam menyusun pandangan sendiri. Semua ini merupakan bahan penting untuk penelitian ilmiah.

Menurut saya, salah satu keistimewaan besar almarhum Naeini adalah keberhasilannya dalam mendidik murid-murid unggul. Saya jarang menemui ulama dengan banyak murid yang semuanya menonjol. Pada masa itu, hampir semua marja besar di Najaf adalah murid beliau: Sayyid al-Khui, Sayyid Muhsin al-Hakim, Sayyid Abdul Hadi Syirazi, Mirza Baqir Zanjani, Syaikh Husain Hilli, Mirza Hasan Bujnourdi, dan banyak lagi. Semua mereka adalah murid beliau. Ini merupakan kebesaran tersendiri, mendidik generasi ulama besar adalah amal yang agung.

Namun ada satu sisi yang menjadikan beliau sosok istimewa, yang jarang dimiliki para marja lain, yakni sisi “pemikiran politik”. Pemikiran politik berbeda dari sekadar kecenderungan politik. Banyak ulama yang memiliki perhatian terhadap politik, namun sedikit yang memiliki teori politik yang sistematis. Mirza Naeini memiliki fikrah siyasiyyah, pemikiran politik yang mendalam. Karya Tanbih al-Ummah adalah bukti nyata hal ini, meski selama ini kurang mendapat perhatian. Semoga Allah merahmati Ayatullah Thalaghani yang pernah mencetak ulang buku itu dan menulis catatan kaki, sebab edisi sebelumnya sangat buruk dan tidak layak. Namun hingga kini, kitab tersebut tetap belum mendapat perhatian yang semestinya padahal isinya amat penting.

Saya ingin mengisyaratkan beberapa poin dari pemikiran politik beliau dalam Tanbih al-Ummah:

Pertama, beliau meyakini perlunya pembentukan pemerintahan Islam. Ini adalah gagasan besar: bahwa harus ada pemerintahan Islam. Walau beliau tidak menentukan bentuk spesifiknya, namun keyakinan akan keharusannya jelas dinyatakan.

Kedua, inti dari pemerintahan Islam menurut beliau adalah konsep “wilayah”. Beliau menyebutnya sebagai al-hukumah al-wilayahiyyah sebagai lawan dari al-malikiyyah al-istibdadiyyah. Maksudnya, bentuk pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang didasarkan pada prinsip wilayah, kepemimpinan yang berasaskan tanggung jawab, bukan kekuasaan absolut. Ini gagasan sangat penting.

Ketiga, beliau menekankan pentingnya “pengawasan rakyat”. Menurutnya, pemerintah dan seluruh pejabat harus diawasi dan bertanggung jawab di hadapan rakyat. Siapa yang melakukan pengawasan itu? Beliau menyebutnya sebagai Majlis al-Mab‘uthan, semacam majelis perwakilan rakyat yang bertugas membuat undang-undang. Majelis ini dibentuk melalui pemilihan umum oleh rakyat. Namun undang-undang yang dihasilkannya tidak sah kecuali telah disetujui oleh para ulama besar. Ini seperti konsep Dewan Syura dan Dewan Penjaga (Syura-ye Negahban) dalam sistem sekarang. Dengan kata lain, beliau menggagas sistem checks and balances antara rakyat dan ulama.

Menurut beliau, pemilihan umum adalah kewajiban, karena menjadi “pendahuluan bagi kewajiban” (maqaddimah al-wajib). Ia menekankan pentingnya amar ma‘ruf nahi munkar, tanggung jawab, dan partisipasi aktif rakyat.

Maka, bila kita perhatikan, beliau menggambarkan pemerintahan yang memiliki tiga ciri: pertama, memiliki kekuasaan nyata; kedua, bersumber dari pilihan rakyat; dan ketiga, berlandaskan hukum-hukum Islam. Pemerintahan seperti ini, dalam istilah masa kini, disebut Jumhuriyyah Islamiyyah — Republik Islam. “Republik” berarti bersandar pada rakyat, dan “Islam” berarti berlandaskan syariat. Walau beliau tidak menggunakan istilah itu, namun gagasan beliau persis mengarah ke situ: pemerintahan rakyat yang dipimpin orang-orang saleh dan beragama, dengan pengawasan ketat dan pertanggungjawaban, serta dengan undang-undang yang sesuai dengan syariat.

Sayangnya, meski para pelajar membaca karya-karya ushul beliau, sisi pemikiran politik ini jarang diperhatikan. Padahal, beliau menyusunnya dengan metode fikih yang murni: menggunakan dalil, kaidah, dan analisis fiqhiyyah yang ketat. Tidak dengan retorika, melainkan dengan argumentasi ilmiah yang kokoh. Hal ini sangat langka di antara para fuqaha. Tak heran bila Akhund Khurasani, ulama besar yang menulis taqrizh (pengantar pujian) untuk kitab itu, memuji karya tersebut sepenuhnya. Kitab Tanbih al-Ummah adalah karya penting dan bernilai tinggi.

Adapun mengenai kabar bahwa Mirza Naeini sendiri mengumpulkan kembali kitab itu, tampaknya hal itu benar. Namun tidak logis bila dikatakan bahwa seorang faqih besar yang menulis dengan argumentasi kuat kemudian menyesal dan menarik kembali seluruh karyanya. Para fuqaha memang bisa mengubah pendapat, tapi tidak sampai menghapus kitabnya. Alasan sebenarnya ialah karena revolusi konstitusi yang terjadi di Iran telah menyimpang dari apa yang diinginkan para ulama Najaf. Mereka, seperti Akhund Khurasani dan Syaikh Abdullah Mazandarani, mendukungnya demi menegakkan keadilan dan melawan tirani. Tetapi apa yang kemudian terjadi di Iran adalah sesuatu yang lain: sebuah sistem buatan Inggris dengan nama “konstitusi” yang akhirnya menimbulkan kekacauan, perpecahan, dan tragedi besar seperti eksekusi Syaikh Fadlullah Nuri, pembunuhan Sayyid Abdullah Behbahani, serta pengkhianatan terhadap para pejuang seperti Sattar Khan dan Baqir Khan. Ketika keadaan itu sampai ke telinga para ulama Najaf, mereka pun kecewa dan menarik dukungan. Tampaknya, Mirza Naeini termasuk yang menyesal melihat hasil yang menyimpang itu.

Menurut saya, beliau adalah seorang faqih luar biasa, seorang ulama agung. Secara ilmiah beliau berada pada tingkat yang sangat tinggi. Dari segi amal, beliau dikenal zuhud dan memiliki kehidupan spiritual yang dalam. Diceritakan bahwa beliau memiliki hubungan dengan Ayatullah Mulla Husain Quli Hamadani, tokoh besar tasawuf syar‘i. Beliau juga memiliki hubungan dengan Mulla Fath Ali di Samarra. Di Isfahan, beliau belajar kepada tokoh-tokoh seperti Jahangir Khan Qashqai dan lain-lain. Bahkan dikatakan beliau membaca pelajaran filsafat darinya. Semua ini menunjukkan kedalaman dan keluasan ilmu beliau. Diriwayatkan pula bahwa beliau memiliki salat malam yang penuh kekhusyukan dan tangisan, sebagaimana disaksikan oleh menantunya, Aqa Najafi dari Hamedan.

Semoga Allah memberikan keberkahan kepada kalian yang telah menyelenggarakan seminar penting ini di Qom, Najaf, dan juga di Mashhad. Penyelenggaraan di Mashhad pun sangat baik, karena memang Ayatullah Milani-lah yang kembali menghidupkan nama Mirza Naeini di Mashhad. Sebelumnya, pemikiran Akhund Khurasani lebih dominan karena putranya, Aqa Zadeh, tinggal di sana. Namun setelah datang Mirza Mahdi Isfahani, murid unggulan Naeini, suasana keilmuan di Mashhad berubah. Ayah saya yang pernah menghadiri pelajaran keduanya berkata bahwa dengan kedatangan Mirza Mahdi, ruang ilmiah di Mashhad benar-benar berganti arah. Setelah beliau wafat, nama Naeini sempat terlupakan hingga Ayatullah Milani kembali menyebut dan mengkaji pendapat-pendapatnya. Maka langkah kalian untuk mengadakan seminar juga di Mashhad dan Najaf sangat tepat. Semoga Allah Swt memberikan taufik dan keberkahan kepada kalian semua.

والسّلام علیکم و رحمة‌الله و برکاته

Muhammad Husayn Gharavi Naeini (1276-1355 H / 1239-1315 Sh) adalah salah satu marja’ taqlid Syiah pada abad ke-14 Hijriah dan pendukung gerakan konstitusionalisme (Nahzat-e Mashruteh). Naeini menempuh pendidikan di hawzah-hawzah ilmiah Isfahan, Samarra, dan Najaf, dan belajar kepada Jahangir Khan Qashqai, Mirza Shirazi, serta Akhund Khorasani. Setelah Muhammad Taqi Shirazi, ia bersama Sayyid Abul Hasan Isfahani memimpin marja’iyat Syiah. Ketenaran ilmiah Naeini terutama berasal dari bidang usul fikih. Ia termasuk pengulas mazhab Sheikh Murtadha Ansari, dan Sayyid Abul Qasim Khui adalah muridnya.

Tags

Your Comment

You are replying to: .
captcha