Berita Hawzah - Dilansir dari Kantor Berita Hawzah, artikel ini mengkaji keraguan ideologis dengan perspektif rasional dan argumentatif mengenai mengapa manusia harus mencari tahu tentang agama dan mencapai pemahaman yang benar melalui penyelidikan (penelitian yang mendalam).
Kebanyakan kesulitan yang dihadapi manusia bersumber dari ketidaktahuannya akan hakikat kebenaran. Oleh karena itu, mencari pemahaman yang benar tentang kehidupan dan dunia bukanlah hanya keharusan rasional, tetapi juga sebuah pekerjaan mulia. Hal ini didorong oleh tiga alasan penting untuk melakukan penyelidikan:
1. Keharusan Bersyukur kepada Sang Pemberi Nikmat (Pencipta)
Manusia—berbeda dengan makhluk lain—adalah makhluk yang sadar dan berakal. Akal inilah yang mengangkat derajat manusia dari kehidupan naluriah hewan dan memberinya tanggung jawab. Salah satu hukum akal yang paling jelas adalah: "Jika seseorang berbuat baik kepadamu, kamu harus berterima kasih padanya."
Dalam kehidupan sehari-hari, kita membalas pemberian segelas air dengan ucapan terima kasih sederhana, karena kita tahu bahwa ketidakpedulian terhadap kebaikan adalah tanda tidak beretika, tidak bermoral, atau tidak tahu berterima kasih.
Coba kita perhatikan lebih dalam: Sejak membuka mata, kita telah menemukan diri kita di dunia yang penuh dengan nikmat (anugerah). Mulai dari keberadaan diri kita hingga udara, makanan, akal, emosi, keluarga, keindahan alam, hukum alam semesta yang teratur, dan kesempatan untuk tumbuh.
Akal pun bertanya: "Dari mana datangnya semua nikmat ini? Jika ada Pemberinya, apakah kita tidak memiliki kewajiban untuk bersyukur terhadap-Nya?"
Di sini, akal yang sehat akan mengatakan: Kamu harus mencari tahu apakah Pemberi Nikmat itu ada atau tidak. Sebab, jika ada dan kamu tetap bersikap acuh tak acuh, kamu berarti tidak bersikap sesuai dengan martabat kemanusiaanmu.
Ini persis seperti seseorang yang tinggal di sebuah rumah, menggunakan semua fasilitasnya, tetapi tidak tahu siapa pemiliknya dan bahkan tidak berusaha bertanya. Akal akan mengatakan, "Orang ini tidak beretika."
Oleh karena itu, langkah pertama untuk melaksanakan hukum akal ini adalah menyelidiki: Apakah sistem penciptaan ini memiliki Pencipta yang sadar dan Mahakuasa atau tidak? Jika ada, Dia adalah Pemberi Nikmat kita yang sesungguhnya. Kita harus menemukan cara untuk mengenal-Nya dan bersyukur kepada-Nya. Jalan inilah yang diklaim oleh agama. Akal memaksa kita untuk meneliti agama dan mengetahui apakah ada jalan untuk mengenal Sang Pencipta dan cara berkomunikasi dengan-Nya.
Jika sebaliknya, ketika kita menggunakan anugerah tetapi mengabaikan Pemberi Nikmat, kita berada di tingkatan yang lebih rendah daripada hewan. Hewan tidak punya akal, sedangkan kita punya. Sikap acuh tak acuh kita bukan lagi karena ketidaktahuan, melainkan karena kelalaian atau ketidakpedulian. Oleh karena itu, akal mengatakan: "Jika kamu adalah seorang manusia, kamu harus tahu, apakah kamu memiliki Pemberi Nikmat atau tidak; dan jika ya, kamu harus menunaikan rasa syukurmu kepada-Nya. Dan rasa syukur ini bukan hanya dengan lisan, tetapi dengan pengetahuan, iman, dan perbuatan. Inilah yang dimaksud dengan mencari agama."
2. Mengambil Manfaat yang Mungkin (Potensial)
Prinsip rasional yang tidak dapat diabaikan adalah prinsip mencari manfaat dari segala sesuatu yang berpotensi menguntungkan. Akal kita dirancang sedemikian rupa sehingga meskipun kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan besar sangat kecil, ia tetap memahami nilai penyelidikan dan usaha untuk mencapainya.
Mari kita terapkan prinsip ini dalam konteks masalah eksistensial yang paling penting, seperti Akhirat, para Nabi, dan Agama.
Jika kita hanya menganggap (berprasangka) bahwa para Nabi berkata benar—tentang adanya Hari Kiamat, hisab, Surga, dan Neraka—bukankah akal mengatakan kepada kita untuk tidak meremehkan kemungkinan ini? Bahkan jika kemungkinannya sangat kecil, tetapi manfaat potensialnya sangatlah besar, akal memerintahkan kita untuk menyelidiki dan meneliti masalah ini, serta menemukan cara untuk mencapai manfaat itu.
Oleh karena itu, akal yang sehat dan matang akan mengajak manusia untuk meneliti tentang agama dan para Nabi, dan akhirnya menemukan kebenaran. Nilai manfaat yang mungkin di sini jauh melampaui manfaat duniawi apa pun. Walaupun kita tidak yakin, hal itu layak untuk "dikejar dan dicari."
3. Menghindari Kerugian yang Mungkin (Potensial)
Salah satu perintah akal yang paling jelas dan mendasar adalah prinsip menghindari segala sesuatu yang berpotensi rugi.
Akal manusia selalu mengatakan bahwa jika ada kemungkinan kerugian—terutama jika kerugian itu fatal, parah, dan tidak dapat diperbaiki—seseorang tidak boleh bersikap acuh tak acuh. Orang yang bijak berusaha menjauhkan diri dari kerugian itu, meskipun kemungkinannya kecil, karena tingkat keparahan akibatnya saja sudah cukup untuk memerintah akal agar berhati-hati.
Sebagai contoh, jika Anda mendengar ada risiko tanah longsor atau serangan hewan buas di jalan yang akan Anda tempuh, Anda tidak akan tinggal diam, bahkan jika belum melihatnya sendiri. Kemungkinan kerugian ini saja sudah cukup untuk mengubah rute atau meningkatkan kehati-hatian. Akal manusia mengatakan: "Kerugian parah tidak boleh diabaikan, bahkan dengan kemungkinan sangat kecil."
Sekarang, mari kita pertimbangkan kaidah rasional ini dalam urusan kemanusiaan dan spiritual yang lebih mendalam.
Seseorang mengamati bahwa di dunia ini terdapat ratusan mazhab pemikiran, agama, sekte, dan filosofi. Setiap kelompok menganggap sesuatu sebagai kebenaran. Dikarenakan oleh karena itu, para Nabi juga datang dan mengajar umat manusia tentang (ma'rifat) Tuhan, Hari Kebangkitan (Ma'ad), Surga, dan Neraka dengan membawa argumen- argumen yang masuk akal.
Meskipun seseorang tidak yakin apakah perkataan mereka benar atau tidak, kemungkinan benannya saja sudah cukup untuk menyadarkan akal. Sebab, jika ternyata mereka (para nabi) berkata benar dan kita bersikap acuh tak acuh, maka kita akan menghadapi kerugian yang bukan hanya besar, namun abadi dan tidak dapat diperbaiki—yaitu Neraka."
Dalam situasi seperti itu, akal berkata: "Anda tidak bisa mengabaikan kemungkinan ini begitu saja; Anda harus meneliti, menyelidiki, melihat alasan-alasannya, dan menentukan keputusan dengan penuh kesadaran. Karena jika kemungkinan ini benar, maka anda tidak akan bisa berbuat apa-apa,dan anda pasti rugi. jika itu salah, Anda tidak akan kehilangan apa-apa."
Prinsip rasional sederhana inilah yang menyebabkan manusia merasa bertanggung jawab dan sadar untuk tidak bersikap pasif terhadap agama dan ajakan para Nabi. Manusia yang acuh tak acuh hanya akan menyesal ketika sudah tidak ada lagi kesempatan untuk memperbaiki.
Dalam kehidupan normal, kita selalu berhati-hati terhadap kejadian yang mungkin hanya membuat kita tidak nyaman beberapa jam. Lalu, jika masa depan yang kekal dipertaruhkan dan ada kemungkinan penderitaan atau kerugian yang besar, bukankah kita harus seratus kali lebih berhati-hati?. Oleh karena itu, akal manusia akan bersuara dengan lantang: "Selama Anda masih memiliki kesempatan untuk meneliti, mengenal, dan memilih, Anda tidak boleh bersikap acuh tak acuh terhadap agama dan dakwah para Nabi. Sebab, jika ada kemungkinan mendatangkan bahaya yang kekal, maka meneliti dan ketelitian dalam beriman merupakan salah satu kebutuhan utama bagi kehidupan yang berakal sehat."
Your Comment