Tuesday 14 October 2025 - 13:31
Kajian Akhlak | Saudaraku! Manusia Bukan Sekadar Hewan Nathiq (Berakal)

Hawzah/ Kesempurnaan sejati manusia terungkap ketika ia menilai dirinya bukan dengan penampilan dan sifat-sifat jasmani, namun dengan tolok ukur Ilahi dan keadilan Ilahi. Bukan sekadar kemampuan berbicara, berjalan dengan dua kaki, atau berbicara tidaklah menyempurnakan kemanusiaan. Berat sesungguhnya nilai kemanusiaan akan terungkap dalam timbangan Ilahi dan sesuai kadar perilaku serta amal perbuatan di hari Kiamat.

Dilansir dari Kantor Berita Hawzah, Almarhum Allamah Hasan Hasan zadeh Amuli dalam salah satu kajian akhlaknya membahas topik "Hakikat Eksistensi Manusia", yang disajikan kepada kalian -para cendikiawan-.

Para ahli ilmu logika memang benar ketika mendefinisikan manusia sebagai "hewan yang berpikir" (al-hayawān al-nāṭiq). Mengapa demikian?

Sebab, yang dibahas dalam ilmu logika bukanlah untuk mengungkap hakikat tertinggi manusia, melainkan sekadar membedakan antara satu entitas dengan entitas lainnya.

Ketika ahli ilmu Mantiq (ilmu logika) hendak mendefinisikan berbagai entitas, ia akan mendefinisikan:

· Tumbuhan dengan ciri khasnya
· Hewan dengan sifat pembedanya
· Setiap makhluk menurut karakteristik yang membedakannya

Misalnya, ketika melihat hewan yang menyakiti dan membunuh, ia akan mendefinisikannya dengan sifat itu. Hewan lain akan didefinisikan dengan sifat khianatnya, atau hewan seperti sapi dengan karakteristik khususnya.

Hingga ketika sampai pada suatu makhluk yang memiliki jiwa dan kemampuan berbicara, di sinilah ia menyimpulkan: "Inilah hewan yang berpikir."

Maka sampailah ia pada suatu makhluk yang memiliki jiwa (nyawa) dan kemampuan berbicara; di sinilah ia menyatakan "inilah hewan yang berpikir (al-hayawān al-nāṭiq)".

Berdasarkan ini, menjadi "hewan yang berpikir" berarti makhluk yang memiliki jiwa dan kemampuan berbicara. Namun, perlu dipahami bahwa sekadar "kemampuan berpikir/berbicara" belum menjadi puncak tertinggi dari kemanusiaan.

Jika kita membatasi definisi manusia hanya hingga batas ini, hakikat manusia yang sejati belum terungkap.

Sebab, sebagaimana dikatakan masyarakat umum, manusia tidaklah disebut manusia semata-mata karena memiliki kuku yang lebar, tubuhnya tidak ditutupi bulu yang tebal, bererjalan dengan dua kaki, atau kemampuan berbicara saja.

Definisi seperti ini terlalu dangkal. Seseorang yang hanya memiliki ciri-ciri lahiriah semata, mungkin tampak sebagai manusia secara fisik, namun hakikat kemanusiaannya belum tentu ada dalam dirinya.

Manusia sejati justru akan terungkap di hari Kiamat, ketika ia ditimbang (amalan-amalannya) di dalam mahkamah pengadilan Ilahi.

Seseorang mungkin dikenal di dunia dengan penampilan lahiriah sebagai manusia, tetapi pada Hari Kebangkitan akan terungkap bahwa kemanusiaannya tidak memiliki nilai atau bobot.

Kesempurnaan kemanusiaan terletak pada upaya seseorang untuk mengukur dirinya dengan "Neraca Keadilan Ilahi."

Apakah neraca atau timbangan pengukur itu?

Jawabannya adalah kebenaran yang telah terwujud dalam Al-Qur'an dan dalam wujud Nabi Muhammad SAW beserta keluarga sucinya (Ahlulbait Alaihimussalam).

Standar ini adalah batas akhir tolok ukur dari kemanusiaan. Setiap orang harus mengukur dirinya sendiri dengan Neraca Ilahi,sehingga dia mengetahui seberapa berat bobotnya dan di mana letak kedudukann dirinya (insaniyah) yang hakiki.

Inilah standar yang sebenarnya, wahai saudaraku!

Tags

Your Comment

You are replying to: .
captcha