Berita Hauzah– Ayatullah Mazahiri dalam salah satu pelajaran akhlaknya membahas sebuah topik "Keikhlasan dan Kesyirikan yang Tersembunyi dalam Beramal", yang kami persembahkan kepada Anda, para cendekiawan terhormat.
Bismillahirrahmanirrahim;
Pembahasan tentang keikhlasan dalam niat adalah salah satu pembahasan yang paling mendasar dalam bidang etika dan adab, yang sangat ditekankan oleh Al-Qur'an Al-Karim, dan riwayat-riwayat Ahlulbait 'alaihimussalam juga sangat menegaskan pentingnya hal tersebut.
Masalahnya adalah bahwa manusia harus hidup dengan keikhlasan, ketulusan, dan kejujuran. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia harus memiliki warna Ilahi dan harus jauh dari sanjungan, pamer, dan riya.
Mewujudkan keadaan seperti itu sangatlah sulit, namun amat sangat penting. Jika tidak ada keikhlasan dalam pekerjaan, maka pekerjaan itu, meskipun tampak besar dan seperti gunung, tidak akan memiliki nilai apa pun. Akan tetapi, jika suatu pekerjaan, meskipun secara lahiriah kecil dan kurang penting, dilakukan dengan niat yang ikhlas, maka dengan berkat niat yang bersih itulah, ia akan mendapatkan nilai yang tinggi dan mencapai kesempurnaan.
1. Al-Qur'an menganggap keikhlasan sebagai nasihat terbesar bagi manusia.
Jika— na'udzubillah (kita berlindung kepada Allah)— seorang penjilat, suka dipuji-puji, suka pamer, dan riya, kondisi ini adalah dosa yang setara dengan kekufuran. Al-Qur'an berfirman: {لَاتُبۡطِلُواْ صَدَقَٰتِكُم بِالْمَنِّ وَ الْأَذَى},"janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima),...." (QS. Al-Baqarah, 2:264). Artinya, jika kamu melakukan perbuatan baik, jangan sekali-kali kamu membatalkannya dengan mengungkit-ungkitnya. Dan dalam kelanjutannya, disebutkan juga: {كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ}, "seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya' kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. " (QS. Al-Baqarah, 2:264).
Oleh karena itu, jika suatu amal kebaikan dilakukan, kita harus menjaga agar riya dan pamer tidak menyusup ke dalamnya. Karena jika itu terjadi, amal tersebut tidak hanya batal dan sia-sia, tetapi juga menjadi sebuah dosa besar. Amal seperti itu bagaikan sebuah kenari yang kosong — memiliki tampilan luar, tetapi isinya kosong.
Mendapati manusia yang benar-benar hidup denganhati yang bersih, jujur, dan ikhlas dalam beramal adalah hal yang sangat langka. Hanya sedikit orang yang ditemukan, yang batin dan lahiriahnya selaras, serta beramal semata-mata untuk mencari ridha Allah Sawt.
Allah Swt dalam Al-Qur'an berfirman: {صِبْغَةَ اللَّهِ وَ مَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً} ,"Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah?....." (QS. Al-Baqarah, 2:138). Dalam ayat lain, Allah Swt juga berfirman kepada Rasulullah Saw:{قُلْ إِنَّمَا أَعِظُكُمْ بِوَاحِدَةٍ أَنْ تَقُومُوا لِلَّهِ مَثْنَى وَ فُرَادَى ثُمَّ تَتَفَكَّرُوا}, "Katakanlah: ""Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu pikirkan (tentang Muhammad)..." (QS. Saba’ 34:46)
Hal ini terjadi karena Al-Qur'an sepenuhnya adalah kitab nasihat, petunjuk ,dan akhlak. Ia adalah kitab yang membentuk manusia, yang mampu menghilangkan sifat-sifat buruk hingga ke akarnya, menanamkan sifat-sifat baik dalam hati manusia, merawatnya, lalu membuatnya berbuah. Dari pohon yang baik ini, baik diri seseorang maupun masyarakat di sekelilingnya akan mendapat manfaat.
Meskipun demikian, Allah berfirman: «قُلْ إِنَّمَا أَعِظُكُمْ بِوَاحِدَةٍ»; yaitu, "Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja." (Yaitu, beramal hanya karena Allah).
Seolah-olah Al-Qur'an ingin mengatakan: Tidak ada nasihat yang lebih tinggi dari ini, tidak ada wejangan yang lebih utama dari ini. Lalu, apakah nasihat itu? Jawabannya adalah Ikhlas.
Jika engkau melakukan kerja budaya, ikhlaslah. Jika engkau mengerjakan amal sosial, ikhlaslah. Jika engkau beraktivitas ekonomi, ikhlaslah. Jika engkau berada di bidang pelayanan masyarakat atau ibadah, ikhlaslah. Baik pekerjaan itu untuk dirimu sendiri maupun untuk orang lain, ia harus dilandasi keikhlasan.
Riya: Dosa Terbesar yang Disejajarkan dengan Kekufuran dan Pembunuhan
Guru mulia kami, Imam Khomeini rahimahullah, di akhir usia beliau yang penuh berkah — meskipun tidak secara langsung membahas tema-tema akhlak — beliau memanfaatkan setiap kesempatan dalam pelajaran fikih dan ushul untuk menyelipkan peringatan-peringatan akhlak.
Beliau (Imam Khomeini) berulang kali mengulangi ayat ini kepada kami: {قُلْ إِنَّمَا أَعِظُكُمْ بِوَاحِدَةٍ أَنْ تَقُومُوا لِلَّهِ مَثْنَى وَ فُرَادَى ثُمَّ تَتَفَكَّرُوا}. Maksudnya adalah "Bersihkanlah terlebih dahulu niatmu, sebelum engkau beramal, agar amal tersebut mendapatkan warna Allah Swt". Dalam keadaan ini, pekerjaan yang secara lahiriah tampak seperti sehelai jerami akan berubah menjadi gunung; suatu amal yang hanya tampak seperti setetes air akan berubah menjadi samudra. Samudra yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat manusia. Dari hal-hal yang mendatangkan keberkahan dalam ilmu, harta, dan amal adalah keikhlasan. Dan yang membuat segala perbuatan menjadi tak berkah, sia-sia, dan tak berbuah adalah riya dan pamer. Jika seseorang melakukan suatu amal lalu memamerkannya kepada orang lain — meskipun tidak disertai sikap mengungkit — pamer itu sendiri sudah merupakan dosa yang sangat besar.
Dalam riwayat-riwayat kami (Ahlulbait), terdapat perbedaan pendapat mengenai dosa-dosa besar. Ada yang menyebutkan tujuh, ada yang tujuh puluh, bahkan ada yang menyebutkan seratus jenis dosa besar. Namun, tidak ada satu pun riwayat yang mengecualikan riya' dari kategori dosa besar. Bahkan, riya disebutkan sejajar dengan kekufuran dan pembunuhan. Artinya, seseorang yang memamerkan amalnya dan berkata, "Akulah yang melakukan ini," atau "Akulah yang biasa berbuat demikian," maka ucapan dan perilaku ini — selain sangat tercela — juga akan membawa hasil yang pahit di kemudian hari.
Diceritakan dari sebuah kisah bahwa seorang penceramah yang terkenal setelah menyampaikan khotbah-Nya yang sangat berkobar-kobar semangatnya , mendatangi salah seorang arif dan bertanya kepadanya: "Bagaimana khotbahku tadi?" Orang itu, dengan sangat jujur, menjawab: "Khotbahmu seluruhnya adalah syirik (Syirk)." Ketika dia bertanya, "Mengapa kau berkata demikian?." Orang itu menjawab, "Karena dalam pidatomu, berkali-kali kau menyebut dirimu sendiri, memuji dirimu sendiri, membanggakan ceramahmu sendiri. Ceramah ini seratus persen telah tercampur dengan syirik (menyekutukan Allah)."
Khotbah semacam ini disebut "Kesyirikan yang Tersembunyi (Syirk Khafī)", sebuah kondisi yang membuat hakikat amal manusia kosong dan hampa, seperti kacang kenari yang kopong.
Your Comment