Friday 26 December 2025 - 23:59
Imam Muhammad Al-Baqir (as); Guru Para Faqih dan Inspirator Para Pejuang

Hawzah/ Kondisi sosial serta sikap penghormatan masyarakat terhadap para Imam pada masa Imam Muhammad Al-Baqir ‘alaihissalam mengalami perubahan yang signifikan. Seiring dengan itu, gerakan politik Imam Muhammad Al-Baqir 'alaihissalam pun menjadi lebih tegas dan terbuka. Hingga pada titik tertentu, Hisyam bin Abdul Malik merasa takut dan khawatir, lalu menempatkan Imam Muhammad Al-Baqir ‘alaihissalam di bawah pengawasan ketat. Pada masa ini pula, tanda-tanda dakwah menuju kepemimpinan (imamah) dan khilafah tampak semakin jelas.

Dilansir dari Berita Hawzah, bertepatan dengan hari kelahiran Imam Muhammad Al-Baqir ‘alaihissalam, kami sajikan kutipan-kutipan pilihan dari pernyataan Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam, Sayyid Ali Khomenei, mengenai kepribadian dan peran agung Imam kelima Ahlulbait tersebut.

Gerakan Politik Imam Muhammad Al-Baqir ‘alaihissalam

Para ulama besar pada masanya datang belajar dan menimba ilmu langsung dari Imam Muhammad al-Baqir ‘alaihis salam. Tokoh terkenal seperti ‘Ikrimah, murid Ibnu ‘Abbas, ketika menghadap Imam Baqir untuk mendengar hadis—atau mungkin juga untuk menguji keilmuan beliau—tiba-tiba tubuhnya gemetar hebat hingga jatuh ke pelukan Imam.

Ia sendiri merasa heran lalu berkata:“Wahai putra Rasulullah! Aku telah bertemu dan belajar hadis dari tokoh-tokoh besar seperti Ibnu ‘Abbas, namun tidak pernah aku merasakan keadaan seperti yang menimpaku saat berada di hadapanmu.”

Imam Muhammad Al-Baqir ‘alaihissalam menjawabnya dengan sangat tegas:

«وَیلَکَ یا عُبَیدَ اَهلِ الشّامِ! اِنَّکَ بَینَ یَدَیِ بُیُوتٍ اَذِنَ اللهُ اَن تُرفَعَ وَ یُذکَرَ فِیها اسمُه»

"Celakalah engkau wahai hamba penduduk Syam! Sesungguhnya engkau sedang berada di hadapan rumah-rumah yang telah Allah izinkan untuk ditinggikan dan disebut nama-Nya di dalamnya."

Maksudnya, kegentaran yang ia rasakan bukanlah karena faktor biasa, melainkan karena keagungan spiritual dan cahaya wilayah Ilahi yang terpancar dari Ahlulbait. Tokoh besar lain seperti Abu Hanifah, yang termasuk faqih dan ulama terkemuka pada masa itu, juga datang kepada Imam Baqir ‘alaihis salam untuk menimba ilmu dan mempelajari hukum-hukum agama. Banyak ulama lainnya pun tercatat sebagai murid beliau. Pancaran keilmuan Imam Baqir menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam, hingga beliau dikenal dengan gelar “Baqir al-‘Ulum” (Sang Pembelah Ilmu).

Perhatikanlah bahwa kondisi sosial, sikap emosional masyarakat, serta penghormatan mereka kepada para Imam pada masa Imam Baqir telah mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan sebelumnya. Seiring dengan itu, gerakan politik Imam Baqir pun tampil lebih tegas dan terbuka.

Berbeda dengan Imam Ali As-sajjad 'alaihissalam yang menghadapi Abdul Malik bin Marwan dengan sikap sangat hati-hati—meski jawabannya selalu kokoh, tajam, dan bermartabat—namun tidak secara frontal. Abdul Malik pernah menulis surat kepada Imam Ali As-sajjad 'alaihissalam, dan beliau menjawabnya dengan bahasa yang kuat tetapi tetap penuh kehati-hatian agar tidak dijadikan dalih untuk penindasan terbuka.

Adapun pada masa Imam Muhammad Al-Baqir ‘alaihissalam, situasinya berbeda. Gerakan beliau sedemikian kuat dan berpengaruh, hingga Khalifah Umayyah, Hisyam bin Abdul Malik, merasa terancam dan ketakutan. Ia memerintahkan agar Imam Muhammad Al-Baqir ‘alaihissalam diawasi secara ketat dan bahkan berusaha membawa beliau ke Syam.

Memang, Imam Ali As-Sajjad 'alaihissalam juga pernah dibawa ke Syam dengan belenggu pada masa sebelumnya, namun kondisi dan pendekatan beliau jauh lebih penuh pertimbangan. Sedangkan dalam kasus Imam Muhammad Al-Baqir ‘alaihissalam, nada perjuangan dan pernyataan beliau jauh lebih tegas.

Dalam sejumlah riwayat yang berkaitan dengan dialog Imam Muhammad Al-Baqir ‘alaihissalam bersama para sahabatnya, tampak jelas isyarat ajakan menuju kepemimpinan, pemerintahan, kekhalifahan, dan imamah, bahkan disertai kabar gembira tentang masa depan Islam. Insya Allah, beberapa contoh riwayat tersebut akan disampaikan pada kesempatan berikutnya.

Bahkan setelah kehidupan beliau berakhir, kita melihat bahwa beliau melanjutkan gerakan perjuangannya melalui peristiwa di Mina; «تَندُبُنی عَن نَوادِبَ عَشرَ سِنِینَ بِمِنًی‌», "Hendaklah para peratap meratapiku selama sepuluh tahun di Mina". Inilah kelanjutan perjuangan beliau.

Pertanyaan: Apa tujuan menangisi Imam al-Baqir di Mina?

Dalam kehidupan para Imam Maksum 'alaihimussalam, tempat di mana tangisan dianjurkan secara kuat dan tegas adalah atas Imam Husein 'alaihissalam, yang didukung oleh riwayat-riwayat yang kokoh, sahih, dan pasti. Demikian pula Imam Ridha عليه السلام, ketika akan berangkat, mengumpulkan sekelompok orang untuk menangisi beliau—sebuah langkah yang sepenuhnya politis, terarah, dan sarat makna.

Namun, selain itu, saya tidak mengingat adanya wasiat serupa tentang ratapan setelah wafat, kecuali dalam kasus Imam Baqir 'alaihissalam. Beliau secara khusus berwasiat dan bahkan menyisihkan delapan ratus dirham dari harta pribadinya agar ratapan itu dilakukan di Mina.

Mina berbeda dengan Arafah, berbeda dengan Masy‘ar, dan bahkan berbeda dengan Mekah.

Mekah adalah kota; orang-orang tersebar dan sibuk dengan urusan masing-masing.

Di Arafah, jamaah hanya berkumpul dari pagi hingga sore; mereka datang dalam keadaan lelah dan sore hari harus segera berangkat menuju tempat lain.

Di Masy‘ar, mereka hanya tinggal beberapa jam di malam hari—sekadar tempat singgah dalam perjalanan menuju Mina.

Namun Mina adalah tempat tinggal selama tiga malam berturut-turut. Pada masa itu, dengan sarana transportasi yang terbatas, hanya sedikit orang yang mampu pergi ke Mekah di siang hari dan kembali ke Mina pada malam hari. Karena itu, pada hakikatnya, selama tiga hari penuh, ribuan orang dari seluruh penjuru dunia Islam berkumpul di Mina. Ini adalah tempat yang sangat strategis untuk menyampaikan pesan. Setiap pesan yang ingin disampaikan kepada umat islam, tempatnya adalah Mina—terutama pada masa ketika belum ada radio, televisi, surat kabar, dan sarana komunikasi massal lainnya.

Ketika di tempat itu sekelompok orang menangisi Muhammad bin Ali, seorang keturunan Nabi, secara alami semua orang akan bertanya: Mengapa kalian menangis?; apakah ia dizalimi?; Apakah ia dibunuh?; dan Siapa yang menzaliminya?; Mengapa ia dizalimi?. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan bermunculan secara berantai. Inilah sebuah gerakan politik-perjuangan yang sangat cermat, terencana, dan penuh perhitungan. (28 Tir 1365 H.S / 19 Juli 1986)

Harapan Tegaknya Pemerintahan Ahlulbait pada Masa Imam Muhammad Al-Baqir ‘alaihissalam

Dalam sebuah riwayat yang tercatat dalam Biharul Anwar disebutkan bahwa rumah Imam Abu Ja‘far (Imam Muhammad Al-Baqir ‘alaihissalam) dipenuhi oleh banyak orang. Suatu hari seorang lelaki tua datang dengan bersandar pada tongkatnya. Ia mengucapkan salam kepada Imam, menyatakan kecintaan dan loyalitasnya, lalu duduk di samping beliau seraya berkata:

«فَوَ اللهِ اِنّی لَأُحِبُّکُم وَ اُحِبُّ مَن یُحِبُّکُم وَ وَ اللهِ مَا اُحِبُّکُم وَ اُحِبُّ مَن یُحِبُّکُم لِطَمَعٍ فی دُنیا وَ اِنّی لَاُبغِضُ عَدُوَّکُم وَ اَبرَأُ مِنهُ وَ وَ اللهِ ما اُبغِضُهُ وَ اَبرَأُ مِنهُ لِوَترٍ کانَ بَینی وَ بَینَهُ وَ اللهِ اِنّی لَاُحِلُّ حَلالَکُم وَ اُحَرِّمُ حَرامَکُم وَ اَنتَظِرُ اَمرَکُم فَهَل تَرجُو لی جَعَلَنِیَ اللهُ فِداک‌»

“Demi Allah, sungguh aku mencintai kalian dan mencintai siapa pun yang mencintai kalian. Demi Allah, aku mencintai kalian dan para pecinta kalian bukan karena mengharapkan dunia. Aku membenci musuh-musuh kalian dan berlepas diri dari mereka, bukan karena dendam pribadi antara aku dan mereka. Demi Allah, aku menghalalkan apa yang kalian halalkan dan mengharamkan apa yang kalian haramkan, dan aku menantikan urusan kalian. Maka, apakah engkau berharap—semoga Allah menjadikan aku tebusanmu—aku akan sampai pada masa itu?”

Maksudnya: apakah ada harapan bagiku untuk menyaksikan masa pemerintahan kalian? Karena ungkapan “menantikan urusan kalian” dalam istilah saat itu berarti menantikan masa kekuasaan dan pemerintahan Imam. Kata al-amr atau amrukum dalam bahasa dan budaya politik masa itu—baik di kalangan para Imam dan pengikut mereka maupun di kalangan para penentang dan musuh—secara jelas bermakna kekhalifahan dan kepemimpinan ilahi. Bahkan Harun sendiri pernah berkata: «و الله‌ لو تنازعت معی فی هذا الامر...»“Demi Allah, seandainya engkau menyaingiku dalam urusan ini…” . Yang dimaksud adalah kekhalifahan, yakni imamah. Ungkapan «amrakum» berarti kekuasaan dan pemerintahan kalian; tidak diragukan lagi bahwa maknanya memang demikian.

Kemudian, Orang itu datang dan bertanya: “Apakah ada harapan bagiku untuk mencapai masa itu dan menyaksikan hari tersebut?”, maka Imam Muhammad Al-Baqir ‘alaihissalam memanggilnya lebih dekat dan mendudukkannya di samping beliau, lalu bersabda:

«ثُمَّ قَالَ اَیُّهَا الشَّیخُ اِنَّ اَبی عَلیَّ بنَ الحُسَینِ علیه السّلام اَتاه رَجُلٌ فَسَاَلَهُ عَن مِثلِ الَّذی سَاَلتَنی عَنه»

“Wahai orang tua, ayahku ‘Ali bin al-Husain (Imam Sajjad) pernah didatangi seseorang yang menanyakan hal yang sama seperti yang engkau tanyakan kepadaku.”

Imam Muhammad Al-Baqir ‘alaihissalam kemudian mengutip perkataan ayahnya. Riwayat ini tidak kita jumpai secara terbuka dalam hadis-hadis Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad 'alaihissalam, yang menunjukkan bahwa ucapan tersebut kemungkinan besar disampaikan secara rahasia dan terbatas. Namun Imam Muhammad Al-Baqir ‘alaihissalam menyampaikannya secara terbuka. Beliau melanjutkan, menukil sabda ayahnya:

«اِن تَمُت تَرِد عَلیٰ رَسُولِ اللهِ وَ عَلیٰ عَلیٍّ وَ الحَسَنِ وَ الحُسَینِ وَ عَلیٰ عَلیِّ بنِ الحُسَینِ وَ یَثلَجُ قَلبُکَ وَ یَبرُدُ فُؤادُکَ وَ تَقَرُّ عَینُکَ وَ تُستَقبَلُ بِالرَّوحِ وَ الرَّیحانِ مَعَ الکِرامِ الکاتِبین ... وَ اِن تَعِش تَریٰ ما یُقِرُّ اللهُ بِهِ عَینَکَ وَ تَکونُ مَعَنا فِی السَّنامِ الاَعلیٰ»

“Jika engkau wafat, engkau akan datang kepada Rasulullah, kepada Ali, Hasan, Husein, dan Ali bin al-Husain. Hatimu akan dipenuhi kebahagiaan, jiwamu menjadi tenang, pandanganmu sejuk, dan engkau akan disambut dengan ruh dan harum surga bersama para malaikat pencatat amal yang mulia.Namun jika engkau tetap hidup, engkau akan menyaksikan apa yang Allah jadikan sebagai penyejuk matamu, dan engkau akan bersama kami di puncak derajat yang paling tinggi.”

Dengan jawaban ini, Imam tidak mematahkan harapan sang lelaki tua. Beliau memberikan penghiburan dan janji: baik ia wafat sebelum masa itu maupun hidup hingga menyaksikannya, keduanya adalah kemenangan dan kebahagiaan baginya.

Inilah gambaran jelas bahwa harapan akan tegaknya pemerintahan Ahlulbait telah hidup dan berdenyut pada masa Imam Muhammad Al-Baqir ‘alaihissalam, dan bahwa gerakan beliau bukan hanya gerakan ilmiah dan spiritual, tetapi juga mengandung visi masa depan politik dan kepemimpinan ilahi yang akan terwujud pada waktunya. (28 Tir 1365 H.S / 19 Juli 1986)

Tags

Your Comment

You are replying to: .
captcha