Tuesday 11 November 2025 - 19:44
Mukmin Sejati  Harus Menjaga Keseimbangan Dunia dan Akhirat

Hawzah/ Kepala Dewan Perwakilan Pemimpin Tertinggi menyatakan: Seorang mukmin harus menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, serta memohon kepada Allah SWT agar dilindungi dari desakan syahwat dan sikap berlebihan dalam mencari kenikmatan, agar tidak kehilangan jalan penghambaan dan akal sehat.

Berita Hawzah – Dalam sebuah ceramah di Haram Sayyid Abdul Azim Hasani (as), Hujjatul Islam wal Muslimin Rajali Tehrani, Kepala Lembaga Perwakilan Pemimpin Tertinggi di Universitas Shahed, menjelaskan makna Doa Kedelapan dari Shahifah Sajjadiyah. Ia menyebut doa ini sebagai doa “isti‘ādzah” (permohonan perlindungan), yakni permohonan kepada Allah SWT agar melindungi hamba-hamba-Nya dari 44 sifat tercela yang disebutkan oleh Imam Sajjad (as).

Beliau menambahkan, sifat pertama yang dimohonkan perlindungannya dalam doa ini adalah “badai keserakahan”. Dalam bagian ketujuh doa tersebut, Imam Sajjad (as) berdoa: “Allāhumma innī a‘ūdzu bika min ilhah al-shahwah”, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari desakan dan paksaan nafsu syahwat.”

Hujjatul Islam Rajali Tehrani menjelaskan bahwa dalam bagian ini, Imam Sajjad (as) mengajarkan kita untuk memohon kepada Allah agar tidak terjerumus dalam desakan hawa nafsu. Nafsu manusia memang cenderung mengarah pada kenikmatan, namun jika dibiarkan berlebihan, ia akan menyesatkan manusia dari jalan penghambaan.

Ia menekankan bahwa doa-doa Imam Sajjad (as) adalah pelajaran tentang gaya hidup seorang mukmin. “Terkadang,” ujarnya, “yang perlu kita minta kepada Allah bukanlah pemberian, melainkan agar sesuatu diambil dari kita, yakni sifat-sifat buruk. Inilah makna sejati dari isti‘ādzah: berlindung untuk terbebas dari sifat-sifat tercela.”

Beliau melanjutkan bahwa Allah telah menanamkan empat kekuatan dalam diri manusia: akal, waham (imajinasi), amarah, dan syahwat. Tak satu pun dari kekuatan ini yang buruk secara hakiki; semuanya menjadi berbahaya hanya jika menyimpang dari jalurnya. Amarah, jika ditempatkan pada tempatnya, menjadi sumber keberanian dan harga diri. Syahwat, jika diarahkan dalam pernikahan dan cinta yang sah, menjadi sebab kelangsungan hidup dan keluarga. Namun “ilḥāḥ shahwat”, yakni pemaksaan dalam mengejar kenikmatan, itulah yang dijadikan bahan isti‘ādzah oleh Imam Sajjad (as).

Rajali Tehrani juga menyinggung bentuk-bentuk syahwat di zaman sekarang. Ia menegaskan bahwa syahwat bukan hanya soal hasrat seksual, tetapi juga mencakup keinginan terhadap harta, kekuasaan, ketenaran, kecantikan, dan keinginan untuk tampil. “Hari ini,” ujarnya, “ada orang-orang yang demi menarik perhatian, memamerkan kehidupan pribadi dan hubungan keluarganya di media sosial. Ini adalah bentuk syahwat ketenaran.”

Ia menegaskan perbedaan antara pemanfaatan yang wajar terhadap nikmat dunia dan keterikatan berlebihan padanya. “Allah menciptakan harta, keluarga, dan fasilitas dunia untuk ketenangan manusia, bukan untuk memperbudaknya. Namun jika pikiran manusia terbelenggu oleh harta, ia akan tersesat dari jalan penghambaan,” ujarnya, seraya mengutip ayat Al-Qur’an: « الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ» “yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya.”

Menurutnya, Imam Sajjad (as) mengajarkan bahwa ketika hawa nafsu mulai menekan, kita harus segera berlindung kepada Allah, bukan dengan ragu-ragu, tetapi dengan keputusan yang cepat dan tulus dari hati.

Ia menambahkan bahwa cinta berlebihan terhadap ketenaran, kekuasaan, atau harta, jika tidak dikendalikan, adalah bentuk “ḥubbu shahawāt” yang disebut dalam Al-Qur’an, dan menjadi penghalang terbesar dalam jalan penghambaan dan pembelaan terhadap wali Allah. “Di Karbala,” katanya, “ada orang seperti Zuhair bin Qain yang meninggalkan harta dan keterikatan dunia demi membela Imam Husain (as), namun ada pula seperti Ubaidullah bin Hur Jufi yang menolak dengan alasan istri, anak, dan harta.”

Mengutip Surah Ali Imran ayat 14 «زُیِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِینَ وَالْقَنَاطِیرِ الْمُقَنْطَرَةِ...» Ia menyatakan: Cinta dan ketertarikan terhadap wanita, anak-anak, dan harta yang melimpah, semua itu adalah kenikmatan dunia yang fana, sementara tempat kembali terbaik hanya di sisi Allah SWT.

Di akhir ceramahnya, beliau menegaskan: “Dunia itu sendiri tidak buruk; yang buruk adalah keterikatan berlebihan padanya. Seperti yang dikatakan Amirul Mukminin (as): ‘Perumpamaan dunia dan akhirat seperti timur dan barat; semakin dekat engkau ke salah satunya, semakin jauh engkau dari yang lain.’ Maka seorang mukmin harus menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, dan memohon kepada Allah agar dilindungi dari desakan syahwat dan sikap berlebihan dalam mengejar kenikmatan, agar tidak kehilangan jalan penghambaan dan akal sehat.”

Tags

Your Comment

You are replying to: .
captcha