Dilansir dari laporan Kantor Berita Hawzah, kisah penuh kehangatan ini merupakan sepenggal dari tutur kata ibu Syahid Navid Safari, yang menggambarkan cinta, pendidikan, keimanan, serta ikatan yang sangat mendalam antara seorang anak dengan keluarganya. Salah satu alasan mengapa derajat kesyahidan dianugerahkan kepada Navid adalah besarnya penghormatan yang ia berikan kepada ayah dan ibunya.
Ketika kami pergi melamar, istrinya berkata:“Aku melihat dari interkom; kalau Navid masuk ke rumah lebih dulu daripada Anda, berarti dia bukan laki-laki yang layak menjadi pendamping hidupku.” Ia menambahkan, “Aku sangat bahagia ketika Navid berdiri di samping dan mempersilakan Anda masuk lebih dulu.” Aku selalu menasihati para pemuda agar menjaga adab dan berbakti kepada orang tua. Ayahku sendiri adalah anak dari seorang syahid. Setiap kali beliau hendak mendoakanku, kedua matanya dipenuhi air mata. Ibuku memiliki tujuh orang anak, tetapi ia mencintaiku dengan cara yang berbeda. Aku melayani kedua orang tuaku dengan sepenuh hati, dan Allah Swt pun dengan rahmat-Nya menganugerahkan Navid kepadaku. Sebagian besar keberkahan hidupku berasal dari doa tulus ayah dan ibuku.
Aku tidak pernah mengatakan “tidak” terhadap permintaan orang tuaku dan selalu berkhidmat kepada mereka. Aku membawa ayah dan ibuku ke rumah kami dan merawat mereka selama dua atau tiga bulan; urusan obat, dokter, dan seluruh kebutuhan mereka aku tangani sendiri. Itu semua hanyalah bagian kecil dari baktiku. Aku berkata kepada ibuku:
“Apa pun yang kulakukan, tidak akan pernah sebanding dengan satu malam yang ia bergadang demi aku.” Navid pun demikian. Jika aku sakit satu hari saja, mungkin hingga pagi hari ia bangun tujuh atau delapan kali untuk datang menjagaku.
Ia sangat senang sekali berziarah; pada hari Arafah dan Arba‘in, ia pasti berada di Karbala. Setiap tahun, mungkin hingga delapan belas kali ia berziarah ke hadapan Imam Ali Ridha 'alaihissalam, dan beberapa kali ia juga membawaku berziarah kesana. Saat mengantarku berangkat, ia selalu memastikan aku tidak kekurangan uang.
Navidku tumbuh besar bersama para syuhada. Bahkan sebelum ia lahir, pamannya telah gugur sebagai syahid. Saat ia berusia dua tahun, pamannya dari pihak ibu juga syahid. Karena itu, kami sering berziarah ke makam para syuhada, dan Navid sejak kecil telah menyerap akhlak dan kepribadian dari pusara para syahid. Ia memiliki kecintaan dan kedekatan khusus dengan Syahid Rasul.
Ia pernah berkata: “Aku pergi ke makam Syahid Rasul (nama salah seorang syahid) dan melihat bahwa usianya empat bulan lebih muda dariku. Aku berkata: Wahai Rasul , engkau lebih dulu pergi dan aku tertinggal.”
Suatu ketika ia mendatangi salah seorang ulama di Qom dan berkata: “Wahai Tuan, aku telah melakukan semua hal yang dilakukan para syuhada, tetapi aku tidak tahu mengapa aku belum juga menjadi seorang syahid.”
Ulama tersebut menjawab:“Ada satu orang yang belum merelakan kepergianmu.” Lalu, ia pulang dan berkata kepadaku: “Ibu, aku telah bermimpi tentang kesyahidanku.” Aku menjawab: “Navid sayang, setelah pamanmu gugur, aku sudah tidak sanggup lagi jika engkau juga harus gugur dan menajdi syahid.” Ia berkata: “Lalu bagaimana engkau memberi jawaban kepada Sayyidah Zainab salamullāhi ‘alaiha?” Begitu besar cinta dan kasih sayangku kepada Navid hingga aku berkata: “Aku akan menggandeng tangan saudaraku dan berkata kepada Sayidah Zainab: Wahai Putri mulia, demi meraih ridha Anda aku telah menyerahkan saudaraku; aku tidak ingin kehilangan Navidku.” Namun Navid menjawab: “Ibu, kedua pamanku adalah bagian jatah untuk ibu dan ibu mertuamu. Lalu, apa bagian jatahmu sendiri?”
Seluruh anggota keluarga memiliki kecintaan dan kedekatan khusus kepada almarhum Navid. Saudara perempuannya selalu menyampaikan seluruh urusan dan persoalannya kepada Navid. Di dalam keluarga, ia bagaikan seorang penasihat. Ayahnya sangat terpukul oleh kepergiannya, hingga dua tahun setelah kesyahidan Navid, beliau pun berpulang ke rahmat Allah Sawt.
Navid mengetahui betul betapa aku merindukannya dan merasa sangat kehilangan. Karena itu ia pernah berkata kepadaku: “Ibu, setiap kali engkau mengingatku, ucapkanlah tiga kali: ‘Assalamu‘alaika ya Aba ‘Abdillah’, maka aku akan berada di sisimu.”
Kini, setiap kali aku mengucapkan kalimat itu sebanyak tiga kali, aku benar-benar merasakan kehadirannya. Cukup bagiku untuk berniat dalam hati, dan Allah Maha Mengetahui bahwa hal itu segera terwujud.
Putriku juga berkata:“Aku selalu berusaha menemani ibu berziarah ke makam, agar Aqa Navid mendengarkan permohonanku.”
Sumber: Yādāvarān-e Āsmānī, wawancara dengan ibu Syahid Navid Safari.
Your Comment