Berita Hawzah – Bertepatan dengan hari-hari penuh berkah kelahiran putri mulia Nabi Muhammad SAWW, Sayyidah Fatimah az-Zahra (sa), sekaligus Peringatan Hari Ibu, sebuah acara amal khidmat digelar dengan kehadiran luas perempuan, para ibu, dan berbagai lapisan masyarakat di Mushalla Besar Imam Khomeini (ra) Yasuj, Iran. Kegiatan ini diselenggarakan atas prakarsa Sekretaris Satgas Amar Makruf dan Nahi Munkar Provinsi Kohgiluyeh dan Boyer-Ahmad.
Dalam acara spiritual tersebut, Najmeh Shapouri Moqaddam, Ketua Majelis dan Penyair Perempuan Provinsi Kohgiluyeh dan Boyer-Ahmad, Iran, selain menyampaikan ucapan selamat atas hari raya besar ini, juga menguraikan kedudukan luhur perempuan dalam Islam, mengkritisi tantangan budaya masa kini, serta menyampaikan tuntutan tegas kepada para pejabat daerah.
Di awal pidatonya, Shapouri Moqaddam menyampaikan salam dan shalawat “Allahumma shalli ‘ala Fatimah ash-Shiddiqah ath-Thahirah” kepada seluruh jamaah salat, hadirin, khususnya para perempuan dan ibu. Ia menyinggung kedudukan tak tergantikan seorang ibu di sisi Allah, seraya mengatakan bahwa Allah mewajibkan ketaatan kepada ibu setelah ketaatan kepada-Nya, dan menjadikan keridaan ibu sebagai tanda keridaan-Nya. Ia menukil riwayat yang menyebutkan bahwa ketika seseorang sedang melaksanakan salat sunnah dan ayah memanggilnya, ia boleh melanjutkan salat, tetapi jika ibu yang memanggil, maka salat harus dihentikan dan panggilan ibu dijawab, karena Allah menempatkan ibu sebagai pendidik dan pembina.
Ia melakukan kritik terhadap pola pengasuhan dalam sebagian keluarga masa kini, seraya menegaskan bahwa para ibu harus meneladani Sayyidah Fatimah az-Zahra (sa) dalam mendidik anak. Ia mengatakan bahwa surga berada di bawah kaki para ibu yang berhasil mendidik anak-anak saleh. Namun, ia menyayangkan adanya sebagian ibu yang lebih mengutamakan kelas tari, bahasa asing, musik, dan kecantikan bagi anak-anaknya, tetapi enggan mengajarkan salat dan hukum-hukum agama. “Surga tidak berada di bawah kaki setiap ibu; mari kita menjadi ibu sejati dan menjadikan Fatimah az-Zahra sebagai teladan,” tegasnya.
Dengan menyinggung keprihatinan Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam terkait persoalan kependudukan, Shapouri Moqaddam menegaskan bahwa misi terpenting perempuan adalah melahirkan dan mengasuh anak. Ia menjelaskan peran laki-laki dalam jihad suci ini dengan mengatakan:
“Jika dahulu para laki-laki berada di garis depan dan perempuan memberikan dukungan, maka hari ini, dalam front perjuangan kelahiran dan pengasuhan anak demi masa depan masyarakat Syiah, kaum perempuan berada di garis depan, sementara tugas laki-laki adalah mendukung.”
Ia menambahkan bahwa perilaku anak merupakan cermin sikap ayah terhadap ibu. Jika seorang ibu dapat tertawa, tenang dan berhasil dalam mendidik anak, pasti ada suami yang penuh kasih dan bertanggung jawab di belakangnya. Sebaliknya, jika seorang ibu mudah marah dan tertekan, akar masalahnya sering kali terletak pada sikap suami yang abai dan tidak peka. Ia juga menasihati para perempuan untuk meneladani Sayyidah Fatimah (sa) dan Sayyidah Khadijah (sa) dalam kehidupan rumah tangga.
Di akhir pidatonya, Shapouri Moqaddam kembali menasihati kaum perempuan untuk menjaga hijab dan kesucian diri, seraya menegaskan bahwa nilai perempuan bukan terletak pada mempertontonkan diri dan mereduksi martabatnya menjadi komoditas ekonomi. Ia mengajak para ibu untuk meneladani mazhab Fatimi dalam mendidik anak-anak yang berakhlak dan berjiwa Alawi, agar kelak tidak merasa malu di hadapan Sayyidah Fatimah az-Zahra (sa) pada hari kiamat. Ia menutup dengan bait syair:
“Ayahku berkata, bunga tampak dari warna dan keindahannya,
dan perempuan beriman tampak dari cara berhijabnya.”
Your Comment