Dilansir dari Kantor Berita Hawzah, seri kajian Mahdawiyah yang berjudul 'Menuju Peradaban yang Ideal'. Kajian ini ditujukan kepada Anda, para cendekiawan terhormat, dengan tujuan menyebarkan ajaran dan pengetahuan seputar Imam Zaman Afs.
Salah satu dari sifat terpenting seorang imam dan syarat-syarat mendasar keimamahan adalah kemaksuman (terjaga dari segala dosa dan kesalahan).
Kemaksuman adalah malakah (sebuah karakter kokoh yang lahir) yang muncul dari pengetahuan terhadap hakikat kebenaran dan memiliki kehendak yang kokoh. Karena perpaduan dua hal ini, seorang Imam dapat terhindar dari melakukan segala bentuk dosa dan kekeliruan.
Seorang Imam terjaga dari segala kekeliruan dan kesalahan, baik dalam memahami dan menjelaskan ajaran agama, dalam mengamalkannya, maupun dalam menilai mana yang membawa kemaslahatan dan mana yang mendatangkan mudarat bagi masyarakat.
Terdapat sejumlah dalil, baik rasional ('aqli) maupun tekstual (Al-Qur'an dan riwayat), yang menjadi dasar keyakinan akan sifat kemaksuman ini. Dalil-dalil rasional yang terpenting di antaranya adalah:
Dalil pertama:
Menjaga kemurnian agama dan jalan hidup spritual terhubung pada sifat kema'suman seorang Imam. Pasalnya, Imam memikul tanggung jawab untuk melindungi agama dari segala penyimpangan dan menjadi pembimbing spiritual bagi umat. Tidak hanya perkataannya, tetapi juga perilakunya, serta sikap setuju atau tidak setujunya terhadap tindakan orang lain, sangat mempengaruhi perilaku masyarakat. Oleh karena itu, ia harus terjaga dari segala kesalahan dalam memahami ajaran agama dan mengamalkannya, agar dapat membimbing para pengikutnya ke jalan yang benar.
Dalil kedua:
Salah satu alasan mengapa masyarakat membutuhkan seorang Imam adalah karena manusia,dalam memahami dan mengamalkan agama, tidak terjaga dari (melakukan) kesalahan. Lalu, jika pemimpin mereka sendiri juga demikian, bagaimana mungkin ia dapat dipercaya sepenuhnya? Dengan kata lain, jika seorang Imam tidak ma'sum, maka orang-orang akan diselimuti keraguan dalam mengikuti dan menjalankan seluruh ajarannya.
Disamping itu, Jika seorang Imam tidak terjaga dari kesalahan, maka manusia harus mencari Imam yang lain yang dapat memenuhi kebutuhan mereka. Jika penggantinya pun tidak maksum, maka diperlukan Imam lain lagi. Rantai pencarian seperti ini akan terus berlanjut tanpa ada ujungnya, dan secara logika, hal demikian ini adalah mustahil.
Sebagian ayat Al-Qur'an juga menunjukkan wajibnya seorang Imam memiliki sifat kemaksuman ini. Salah satunya adalah firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah Ayat 124. Dalam ayat yang mulia ini dijelaskan, bahwa setelah memperoleh pangkat kenabian, Allah SWT menganugerahkan kedudukan agung yaitu ke-Imamah-an kepada Nabi Ibrahim 'as. Kemudian, Nabi Ibrahim as memohon kepada Allah agar menjadikan kedudukan Imamah ini terus berlanjut pada keturunannya.
Allah SWT berfirman -یَنَالُ عَهْدِی الظَّالِمِینَ - ("(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim"). Artinya, kedudukan imamah itu khusus untuk para keturunan nabi Ibrahim as, yang tidak zalim.
Karena Al-Qur'an telah menyatakan bahwa menyekutukan Allah adalah dosa yang terbesar,dan bahwa setiap pelanggaran terhadap perintah-Nya sama dengan dosa dan merupakan bentuk kezaliman terhadap dirinya sendiri, maka siapapun yang dalam hidupnya pernah melakukan dosa, berarti dia tidak layak menyandang kedudukan Imamah.
Dengan kata lain,sudah pasti Nabi Ibrahim as tidak memohon kedudukan Imamah untuk keturunannya yang selama hidupnya bergelimang dosa, atau yang awalnya baik lalu menjadi fasik. Dengan demikian, yang tersisa hanyalah dua golongan:
1. Mereka yang pada awalnya pernah berbuat dosa, lalu bertaubat dan menjadi orang-orang yang shaleh.
2. Mereka yang sama sekali tidak pernah melakukan dosa.
Kesimpulannya, Allah SWT dalam firman-Nya telah mengecualikan golongan pertama. Maka demikian, dapat disimpulkan bahwa kedudukan "Imamah" hanya diperuntukkan bagi golongan kedua.
Pembahasan ini masih berlanjut...
Your Comment